Karya Ika Novianti
🎉 Selamat kepada Ika Novianti, Juara 3 Karya Jurnalistik! 🏆
Kami ucapkan selamat kepada Ika Novianti, siswa berbakat yang berhasil meraih Juara 3 dalam lomba Karya Jurnalistik. Prestasi ini menjadi bukti semangat dan kreativitasnya dalam dunia tulis-menulis.
Melalui tulisannya, Ika mengangkat isu budaya lokal yang sering luput dari perhatian di tengah arus modernisasi. Disampaikan dengan bahasa yang jernih dan menyentuh, karyanya menjadi pengingat bahwa tradisi tidak boleh dibiarkan hilang begitu saja. Kini, tulisan tersebut dapat dibaca langsung di halaman ini, sebagai dorongan bagi generasi muda untuk lebih peka, peduli, dan terus berkarya.
📌 Yuk, simak karya jurnalistik Ika Novianti di bawah ini!
👇
Alunan Calung di Tengah Gerusan Zaman, Warisan Bambu, Cerminan Karakter Bangsa
Zaman modern membawa gelombang perubahan yang begitu deras. Segala hal kini serba cepat, serba digital, cukup dengan satu sentuhan jari dunia pun terbuka lebar, lagu-lagu dari berbagai penjuru bumi bisa terdengar dalam hitungan menit, budaya luar masuk dengan mudah, bahkan hingga ke pelosok desa. Anak-anak dan remaja tumbuh dalam dunia baru yang lebih akrab dengan suara notifikasi daripada bunyi alat musik tradisional. Dunia memang maju, tapi di saat yang sama, hal-hal sederhana yang dulu dekat perlahan mulai terlupa.
Di tengah arus deras itulah, budaya lokal perlahan tergeser. Seni tradisional tak lagi seakrab dulu, bahkan di tanah tempat seni itu lahir. Generasi muda merasa cukup dengan hiburan digital di genggamannya. Namun, siapa sangka, di balik gemerlap dunia modern, masih ada sosok yang percaya bahwa kuno bukan berarti usang. Masih ada yang yakin bahwa yang sederhana justru menyimpan pelajaran paling berharga. Di sebuah desa kecil, Pasawahan, Kabupaten Purwakarta, suara calung masih bertahan. Meski tak lagi ramai, alunan bambu itu tetap terdengar, mengayun pelan seperti perahu yang berlayar di air yang tenang.
Menjaga seni tradisional seperti calung bukanlah perkara mudah. Ia butuh keteguhan hati, bukan hanya niat. Ia seperti menanam bambu, tidak langsung menjulang, melainkan tumbuh perlahan, menumbuhkan akar sebelum akhirnya berdiri tinggi. Dan apa artinya canggih jika jati diri perlahan menghilang? Apa gunanya hebat dalam teknologi, jika mudah lupa akar tempat berpijak? Dan dalam proses itulah, karakter ditempuh, ketangguhan tumbuh, dan generasi muda belajar mengenal dirinya sendiri dengan lebih utuh.
Seni tidak bisa hidup sendiri, ia bertahan karena ada jiwa-jiwa yang setia menjaganya. Di balik suara bambu yang terus beralun di Desa Pasawahan, ada sosok-sosok yang menjadi penjaga warisan, bukan anak-anak muda yang baru mulai melangkah, melainkan mereka yang telah berjalan jauh bersama musik ini. Usia mereka mungkin terus bertambah, rambut mulai memutih, tapi justru semangat itu yang tak pernah surut semangat yang menjaga agar calung tetap bernyawa.
Di sebuah sudut desa itu, ada sosok seniman yang sepanjang hidupnya nyaris tak pernah lepas dari suara musik tradisional salah satunya calung. Usianya mungkin sudah tidak muda lagi, tapi jika bicara soal calung, matanya langsung berbinar. Ada cahaya di sana, ada semangat yang tidak bisa dipadamkan oleh usia.
Bukan hal mudah menanamkan irama lama di telinga yang tumbuh bersama layar. Di tengah dunia gemerlap dengan digital ini, mengenalkan seni tradisional adalah upaya menanam benih di tanah yang nyaris tandus, pelan, sabar, tapi penuh harap akan tumbuhnya akar sendiri. Tapi ia percaya, selama ada satu saja anak yang mau belajar, itu sudah cukup menjadi alasan untuk terus mengajar, selama ada satu pasang tangan kecil yang berani memegang bambu dan mencoba memainkan nada, itu sudah cukup menjadi alasan untuk tidak berhenti.
Langkahnya mungkin pelan, suaranya mungkin tidak lagi sekeras dulu. Tapi semangatnya mengalahkan apa pun, dari tangan-tangan seniman seperti inilah warisan budaya tetap menemukan jalannya, dari semangat yang tidak pernah padam itulah seni tetap tumbuh, meski pelan, meski sederhana.Salah satu penjaga tradisi itu adalah Pak Parno, sosok yang sudah puluhan tahun berkecimpung dalam dunia seni tradisional, salah satunya seni tradisional calung. Di Desa Pasawahan, namanya dikenal sebagai salah satu seniman yang konsisten menjaga seni bambu ini tetap hidup. Usianya mungkin tak lagi muda, tetapi semangatnya bahkan mampu mengalahkan kecepatan zaman.
Perkenalan Pak Parno dengan calung dimulai sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Yang mengenalkan calung pertama kali justru adalah kakeknya sendiri, sang kakek dulu sering memainkan calung di kampung, dari sanalah ketertarikan itu tumbuh. Suara bambu yang berirama sederhana itu terdengar begitu enak di telinga.
Dan seiring nya waktu, Pak Parno menyadari bahwa suara calung tak lagi seramai dulu. Dunia anak-anak kini lebih ramai oleh bunyi notifikasi ponsel daripada alunan bambu yang mengalun pelan. Bagi Pak Parno, selama masih ada satu anak yang datang dengan mata penuh rasa ingin tahu, itu sudah cukup untuk membuat calung tetap hidup.
“Sekarang mah memang tidak sebanyak dulu,” ujarnya sambil menatap sendu ke arah depan. “Anak-anak lebih banyak yang sibuk dengan HP-nya atau game online. Tapi alhamdulillah, masih ada beberapa yang tertarik, apalagi kalau ada dorongan dari sekolah atau dukungan dari keluarga.”
Kalimat itu diucapkannya pelan, seperti alunan nada rendah dalam sebuah lagu. Tidak ada nada marah, tidak ada keluhan, hanya keikhlasan. Sebab baginya, menjaga seni tradisional bukan tentang mengejar jumlah, melainkan menjaga agar suara calung tidak benar-benar hilang.
Bukan hanya sekadar memainkan calung, Pak Parno juga memahami betul bagaimana proses pembuatan alat musik bambu tersebut. Ia bercerita bahwa semuanya dimulai dari memilih bambu yang bagus. Biasanya, ia memilih bambu jenis gombong atau bambu tali, pemilihannya tidak bisa sembarangan. Bambu yang bolong atau keropos pasti akan menghasilkan nada yang buruk. Setelah dipilih, bambu harus dikeringkan terlebih dahulu selama beberapa bulan agar kuat dan menghasilkan suara yang jernih. Tantangan terbesar dalam membuat calung bukanlah memotong atau menyusun bilahnya, tetapi menyamakan nada di setiap batang bambu. Hal itu membutuhkan waktu, ketelitian, dan tentu saja kesabaran yang besar.
Bukan hanya memainkan calung, Pak Parno juga memahami betul bagaimana alat musik bambu itu lahir. Ada proses panjang yang harus dilewati sebelum calung bisa menghasilkan nada yang indah. Semuanya berawal dari memilih bambu yang tepat. Tak sembarang bambu bisa dipakai. Ia harus mencari bambu gombong atau bambu tali dua jenis bambu yang dikenal kuat dan cocok untuk dibuat calung. Tapi memilihnya tidak bisa asal. Setiap ruas harus diperiksa satu per satu, memastikan tidak ada yang bolong atau keropos. “Prosesnya dimulai dari memilih bambu yang bagus, biasanya bambu gombong atau bambu tali,” tuturnya. “Memilihnya harus teliti, jangan sampai ada yang bolong atau keropos. Setelah dipotong, bambu itu harus dikeringkan dulu beberapa bulan.”
Namun, bagian tersulit bukan sekadar memilih atau memotong bambu. Justru tantangan sesungguhnya ada pada menyamakan nada. Setiap batang harus diukur dengan penuh kesabaran, dicoba berulang kali sampai nadanya tepat sesuai tangga nada yang diinginkan. Salah satu tangga nada yang sering digunakan adalah Pelog, salah satu sistem nada khas dalam musik tradisional Sunda. Proses menyelaraskan bunyi itu bukan perkara mudah. Kadang butuh waktu berjam-jam hanya untuk menyempurnakan satu bilah bambu. “Yang paling sulit itu menyamakan nada tiap batangnya,” lanjutnya. “Harus benar-benar pas sesuai tangga nada. Itu yang paling butuh waktu dan kesabaran.” Di sanalah letak keindahan sebuah calung bukan hanya pada suara yang keluar, tetapi juga pada proses panjang dan ketelatenan di baliknya.
Di tengah zaman yang serba cepat ini, calung menjadi pengingat bahwa tidak semua hal harus selalu tergesa-gesa. Ada proses yang harus dilalui, ada waktu yang perlu dihargai, “Kalau bukan kita yang menjaga budaya Sunda, siapa lagi?” ucap Pak Parno, kalimat sederhana yang terdengar seperti amanat, Bukan sekadar pesan, Ia tahu mungkin kelak tubuhnya akan lelah, langkahnya akan makin pelan. Tapi ia juga tahu, semangat harus terus diwariskan, dan dari Desa Pasawahan, alunan calung itu masih terdengar. Suaranya mungkin tak lagi seramai dulu, tapi tetap hidup. Tetap bernyawa. Karena selama masih ada yang mau belajar, selama masih ada yang mau mendengar, selama itu pula suara calung akan terus menyuarakan siapa kita sebenarnya anak bangsa yang berakar kuat, melangkah tegak, dan tidak pernah lupa pada asal-usulnya.